ALIRAN HEDONISME DALAM BER-ETIKA PROFESI
Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua, paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad slalu kita temukan. Untuk aliran ini, kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan. Hedonisme pertama-tama dirumuskan oleh Aristippus yang salah menafsirkan ajaran gurunya, Socrates yang berkata bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan. Aristippus menyamakan kebahagian dengan kesenangan. Menurutnya, kesenangan berkat gerakan lemah, rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan sesaat yang dinikmati itu yang dihargai. Suatu perbuatan disebut baik jika dapat menyebabkan kesenangan dan memberi kenikmatan. Kebajikan menahan kita agar tidak jatuh dalam nafsu yang berlebihan yakni gerakan kasar jadi tidak menyenangkan.
“Hedonism” menurut kamus oxford memiliki makna The highest good and proper aim of human life. Menurut John Winter dalam bukunya yang berjudul Agar Langkah Hidup Anda Bahagia, mengatakan bahwa gaya hidup hedonisme diciptakan oleh sebuah zaman di mana zaman ini telah mendahulukan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu, bukan dari pikiran rasional yang nyata. Maka aliran Hedonisme ini yakni “Hidup yang berisi dengan penuh kesenangan berfoya-foya, menomorsatukan gengsi, kaum borjuis (eksklusifitas), dan terus menerus dilakukan tanpa memikirkan hal lain dan memiliki pemikiran bahwa kesenangan yang dilakukan tak lekang oleh waktu, dan mereka yang melakukan itu hanya bisa menggunakan fasilitas dari kekayaan orangtuanya, dan ciri dari aliran hedonisme ini bagi yang menjalankan adalah selalu dimanja oleh orangtuanya, bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian dari orangtuanya, karena kesibukan orang tuanya”.
ALIRAN EUDAEMONISME (MODERNISASI) DALAM BER-ETIKA PROFESI
Eudaemonisme yakni aliran filsafat etika yg menafsirkan tujuan manusia sehingga tercapainya kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya segala potensi manusia. Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia). Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia. Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.
Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kendatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya, manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas penderitaan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran “eudaemonisme ini yaitu lebih mengedepankan kepentingan Individual (pribadi), kelompok tertentu, daripada kepentingan Bersama”,
ALIRAN PRAGMATISME DALAM BER-ETIKA PROFESI
Pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. Dengan adanya pragmatisme tidak ada sosialisme di Amerika. Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu:
1. Menolak segala intelektualisme ;
2. Absolutisme ;
3. Meremehkan logika formal.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Maka dapat disimpulkan dengan bahasa yang mudah yaitu bahwa Pragmatisme adalah satu pikiran yang menghubungkan teori dan praktek. Falsafah yang menekankan makna tindakan manusia dalam dunia pengetahuan dan pengalaman hidup sehari-hari.
Dalam perkembangannya, kebenaran akan disebut kebenaran bila itu dapat dibuktikan. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang mutlak, tetapi yang relatif. “Kebenaran bergantung pada ruang dan waktu. Berbeda dengan pengikut agama yang menganggap bahwa kebenaran adalah mutlak, kaum pragmatis tidak melihatnya demikian. Kalaupun ada yang disebut kebenaran, yang menjadi ukuran adalah keuntungan. Bila keyakinan memberikan faedah kepada pengikutnya, keyakinan itu akan disebut kebenaran. Bila tidak, keyakinan itu bukanlah kebenaran”. “Falsafah ini menolak eksistensi Tuhan”.
ALIRAN UTILITARISME (TEORI MORAL)DALAM BER-ETIKA PROFESI
Utilitarisme yakni, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number). Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka. Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya), memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the “hedonic calculus”), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa “one man is worth just the same as another man” ada garansi bahwa dalam menghitung the greatest happiness “setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali”. Pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia beragumentasi bahwa “jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang salah, karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk memberikan kebaikan pada orang yang paling banyak”.
Dengan kata lain, Kant menempatkan benar terlebih dahulu, baru yang baik, sedangkan Bentham menempatkan baik terlebih dahulu, baru benar. Model atau mahzab yang menganut Kant disebut Kantian, sedangkan model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis. Bagi seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah, Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar ternyata tidak selalu seiring dan sejalan. Kesimpulan dari aliran Utilitarisme ini adalah “Teori kebahagian terbesar yang mengajarkan manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik”. Oleh sebab itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya asas kegunaan atau manfaat (the principle of utility). Kekuatan utilitarisme terletak dalam:
1. Rasionalitas tindakannya: tindakan harus dipilih dan dipertanggungjawabkan (maka juga menekankan tanggung jawab) apakah berguna bagi sebanyak mungkin orang atau tidak. Utilitarisme menciptakan suasana pertanggungjawaban. Segala tindakan moral tidak dapat dikatakan benar, meski sesuai peraturan abstrak sebelum dipertanggungjawabkan dari akibat-akibatnya terhadap semua pihak.
2. Universalitas akibat atau keberlakuan tindakannya: mengatasi egoismetis, utilitarisme berikhtiar mencapai kebahagiaan semua orang. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelaku itu sendiri. Empat unsur tolok ukur utilitarisme:
1. Mengukur moralitas sebuah peraturan atau tindakan dari akibat-akibatnya.
2. Akibat-akibat yang ditimbulkan adalah akibat yang berguna.
3. Nilai utilitarisme adalah (eudemonisme) tindakan yang betul dalam arti moral adalah yang menunjang kebahagiaan.
4. Utilitarisme menuntut agar kita selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyaknya.
Maka dari itu apabila aliran utilitarisme ini dikorelasikan dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ; Degradasi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja Pemerintah Saat Ini Bermula dari permasalahan dan kondisi masyarakat yang semakin memprihatinkan, penyelesaian kasus-kasus tidak kunjung selesai berdampak pada demontrasi dan tindakan-tindakan anarkis lainnya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai akibat kasus-kasus korupsi yang belum dapat diselesaikan dengan baik serta kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi masyarakat.
DATA menyebutkan, peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu di posisi 111. Pada 2008 posisi Indonesia naik, yakni peringkat 126. Untuk 2009, Indonesia di posisi 5 lingkungan ASEAN atau lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Kondisi saat inilah, yang menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin merosot karena hak-hak rakyat terabaikan. Sebagai dampak buruknya kebijakan yang tidak berdasarkan asas manfaat adalah kemiskinan, data BPS memberikan fakta kemiskinan di Indonesia ’’Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen), dan persentase penduduk miskin antara daerah perdesaan. Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini adalah ditinjau dari segi filsafat pemerintahan membutuhkan suatu paham pemikiran yang dianggap tepat guna segera keluar dari krisis yang berkepanjangan. Suatu paham atau teori yang dapat menjadi sumber bagi pembaharuan hukum dan sosial politik sekaligus pedoman bagi pelaksana pemerintahan. Utilitarisme merupakan salah satu teori dalam filsafat moral yang mengukur tingkat moralitas berdasarkan atas nilai kegunaan. Prinsip utamanya adalah ’’suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang bersangkutan sebanyak mungkin. Otoritas yang diterapkan dalam teori utilitarisme bukan berarti menjadi kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal ini untuk membentuk citra ketegasan pemerintah sebagai seorang pemimpin. Diharapkan pemimpin agar tidak ragu-ragu dalam menetapkan suatu keputusan. Keraguan hanya membuat masyarakat semakin memandang pemimpin tidak mampu menjalankan kepemimpinannya yang mengakibatkan hilangnya wibawa di mata rakyat. Keputusan yang baik adalah keputusan yang memberikan efek positif kepada masyarakat banyak, meski ada beberapa hal yang harus dikorbankan.
Sumber: http://daywalkers885.wordpress.com